Catatan Lebah Muda

Catatan kecil pemuda di kaki langit

Minggu, 22 Agustus 2010

How You Think, is How You Act, is Who You Are (4)



“Kasih Ibu kepada beta. Tak terhingga sepanjang masa.
Hanya memberi. Tak harap kembali.
Bagai sang surya menyinari dunia.”

–Syair lagu ”Kasih Ibu”–

Sudah dua kata kunci dari pola pikir pemimpin, leader’s mind-set, yang kita kupas: change dan people. Kata kunci yang ketiga adalah benefit, contribution, and responsibility. Kalau ditanya, siapakah sosok yang paling berarti dalam hidup anda, mungkin sekali sebagian besar akan menjawab: ibu. Mengapa? Lagu berjudul ”Kasih Ibu” memberikan jawabannya: ”Kasih ibu kepada beta, tak terhingga sepanjang masa. Hanya memberi. Tak harap kembali. Bagai sang surya menerangi dunia”. Ibu memang sosok yang luar biasa: dekat di hati, namun juga sangat kita segani, karena ia terus memberi dengan ikhlas kepada kita. Akumulasi saham kebaikannya tak ternilai. Implikasinya sungguh luar biasa. Jangankan ia berkata-kata. Bahkan perubahan raut mukanyapun cukup untuk menggetarkan sanubari kita.

Jadi corollary yang berlaku sungguh jelas. Pemimpin memberi, bukan pemimpin meminta. Pemimpin berkontribusi, bukan pemimpin mengambil. Pemimpin berpikir bagaimana dirinya bermanfaat untuk orang lain, bukan pemimpin berpikir bagaimana dia bisa memanfaatkan orang lain. Pemimpin bertanggungjawab, bukan pemimpin menghindari tanggungjawab. True leader berpikir, “Apalagi yang dapat saya lakukan, agar orang-orang yang saya pimpin, agar lingkungan di mana saya hidup, menjadi lebih baik”, sebagaimana Nabi SAW yang hanya mengulang-ulang satu kata, “Ummatiii ... ummatiii ... ummatii ...” dalam rintihan lirih di penghujung hayatnya. Sebagaimana juga telah diabadikan dalam kalam Illahi: “Sesungguhnya sudah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mu’min” (QS. At Taubah: 128).

Pemimpin sejati, berdiri di muka barisan pada saat bahaya menghadang dan kesulitan mendera. Ia paling dulu merasakan penderitaan, kalaulah itu suratan takdir bagi kaumnya. Namun ia akan berdiri di penghujung barisan pada saat mengecap kenikmatan. Ia yang terakhir makan setelah memastikan para pengikutnya kenyang. Ia tak mau menyakiti perasaan kaumnya dengan menghiasi dirinya dengan atribut-atribut kemewahan dan keberlimpahan, sementara mereka masih terpuruk dalam kemiskinan. Hatinya turut menangis, ketika pengikutnya sakit atau disakiti. Dan seperti kata Jim Collins, ia menisbatkan kegagalan organisasinya sebagai kelemahan dan kebodohannya, sebaliknya, ia menghadiahkan keberhasilan organisasinya sebagai hasil kerja keras para pengikutnya.

Sehingga ada keyakinan yang terhujam dalam di sanubari setiap pemimpin sejati: ”Betapa inginnya kami agar bangsa ini mengetahui bahwa mereka lebih kami cintai daripada diri kami sendiri. Kami berbangga ketika jiwa-jiwa kami gugur sebagai penebus bagi kehormatan mereka, jika memang tebusan itu yang diperlukan. Atau menjadi harga bagi tegaknya kejayaan, kemuliaan, dan terwujudnya cita-cita mereka, jika memang itu harga yang harus dibayar ... Kami tidak mengharapkan sesuatupun dari manusia; tidak mengharap harta benda atau imbalan lainnya, tidak juga popularitas, apalagi sekedar ucapan terima kasih ...” (Hasan Al Banna).

Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

How You Think, is How You Act, is Who You Are (3)



”Dan adapun buih itu akan hilang sebagai sesuatu yang tidak ada harganya. Adapun yang memberi manfaat kepada manusia maka ia akan tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan–perumpamaan.” –Al Quran, Surat Ar Ra’ad: 17–

Sekarang mari kita soroti karakteristik lain dari pola pikir seorang pemimpin dengan sebuah cerita lainnya. Sekitar pukul delapan malam seorang wanita, Sales Manager handal, masih menyelesaikan sejumlah paper works di meja kerjanya. Tak sengaja sang CEO melintas dan menghampirinya. Ia tak mengenal wanita itu, karena sebagai perusahaan besar di sana ada puluhan Sales Manager. Diajaknya wanita itu berbincang-bincang mengenai berbagai topik ringan yang tak berhubungan dengan pekerjaan. Dari obrolan itu dia tahu bahwa hari ini merupakan hari kerja terakhir wanita itu. Dia sudah mengajukan pengunduran diri karena sebentar lagi akan melahirkan anaknya yang ketiga dan telah memutuskan untuk menjadi ibu rumahtangga purna waktu. Tak sampai 20 menit obrolan itu berakhir. Mereka berjabat tangan, dan CEO mengantarkan Sales Manager itu hingga ke pintu lift. Sebelum berpisah CEO meminta Sales Manager itu menghubunginya secara pribadi jika di kemudian hari mendapat kesulitan.

Setahun-dua tahun kemudian karena berbagai sebab perusahaan itu mengalami kemunduran yang hebat. Klien-klien besar meninggalkan mereka, sehingga kelangsungan hidup perusahaan berada di ujung tanduk. Sales Manager handal yang sudah hidup tenang dan tenteram bersama keluarganya itu membaca kabar sedih mengenai perusahaan bekas tempatnya bekerja di sebuah majalah bisnis. Serta-merta dia kembali ke perusahaan itu, bekerja luar biasa keras, dan kemudian mampu membantu proses recovery yang akhirnya membawa mereka kembali mendekati puncak.

Tidak berapa lama setelah itu wartawan majalah bisnis mewawancarainya. Pertanyaannya seputar motvasi apa yang mendorong dirinya membatalkan keputusan menjadi ibu rumahtangga, dan kembali ke perusahaannya justru pada saat mereka terpuruk. Bahkan kepadanya ditanyakan, ”Berapa kali lipat gaji yang ditawarkan pada anda dibandingkan saat anda dulu keluar, sampai-sampai anda tergiur untuk kembali di saat sulit?” Wanita itu menggeleng dan berkata, ”Anda salah. Sama sekali salah. Saat itu justru mereka hanya mampu membayar sepertiga dari gaji terakhir saya.” Wartawan itu terheran-heran. Tutur wanita itu selanjutnya, ”Namun saya teringat percakapan dengan CEO saya di malam terakhir saya bekerja. Dengan tulus dia ingin tahu keadaan bayi yang saya kandung. Bahkan dia bertanya apa jenis kelaminnya, dan apakah saya sudah punya nama untuknya. Dan sesaat sebelum saya pulang, dia menawarkan bantuan jika di kemudian hari saya mendapat kesulitan. Dan anehnya, saya yakin yang berbicara adalah hatinya. Itulah yang membuat saya kembali. Karena saya yakin di matanya, dan di mata perusahaan ini, saya adalah manusia ...”

Terlepas bahwa ia seorang nabi dan rasul, mengapa Muhammad SAW menjadi sosok pemimpin terhebat dalam sejarah? Karena ia mampu menyentuh hati manusia. Tengoklah misalnya bagaimana ia menaklukkan hati sahabat-sahabat Anshar ketika mereka menggugat pembagian harta rampasan perang pasca penaklukkan Mekah yang mereka anggap tidak adil dengan melakukan komparasi yang luar biasa: ketika tokoh-tokoh Quraisy pulang dengan membawa ratusan ekor unta dan beragam harta lainnya, kaum Anshar pulang dengan membawa Nabi mereka. Maka luluhlah hati sahabat-sahabat Anshar, dan mengalirlah air mata mereka dengan derasnya. Subhanallah! Atau perhatikan pula bagaimana seluruh sahabat merasa bahwa diri mereka masing-masing adalah orang yang paling dekat dengan Nabi SAW. Hal ini menunjukkan bagaimana Muhammad SAW memiliki punya kepedulian pada manusia (people care) yang luar biasa.

Nyatalah bahwa kepedulian yang mendalam terhadap manusia merupakan karakteristik berikutnya yang melekat pada pola pikir seorang pemimpin sejati, selain orientasi pada change dan transformation yang sudah dibahas sebelumnya. People care berarti juga kesediaan untuk menangani keunikan, kompleksitas, dan ketakterdugaan yang melekat pada manusia. Pemimpin berpikir bahwa system and structure follow the people, sehingga ia lebih memfokuskan waktu, energi, dan sumberdaya lainnya untuk membangun hubungan yang bermakna, mendalam, dan berjangka panjang dengan manusia, memotivasi dan menginspirasi mereka, membangun dan memperkuat komitmen mereka, ketimbang sekedar melakukan short cut untuk mengelola mereka dengan menempatkan para pengikutnya dalam kotak-kotak diagram organisasi, aturan, dan job description.

Leader percaya penuh bahwa pendekatan yang tepat akan memicu aktualisasi puncak-puncak talenta para pengikutnya, sehingga empowerment, pemberdayaan, menjadi kredo yang sangat diyakininya. Kesediaan memberdayakan berarti kesediaan untuk berbagi pengalaman, pengetahuan, dan keterampilan, secara cerdas mendelegasikan kewenangan yang dimiliki, serta membuka akses terhadap berbagai sumberdaya yang dibutuhkan untuk mengembangkan diri. Semuanya atas dasar saling percaya dan hormat, serta terlebih lagi, ketulusan dan kebersihan hati. Dalam kedisiplinan dan konsistensinya terhadap visi, pemimpin menyediakan ruang yang luas bagi para pengikutnya untuk bebas, merdeka, kreatif, serta berani mengambil risiko untuk berbuat kesalahan.

Lebih lanjut Jim Collins menggambarkan hal ini sebagai prinsip first who, then what yang membedakan seorang great leader, pemimpin jenjang kelima, dengan pemimpin model ”a genius with a thousand helpers”. Pemimpin jenjang kelima secara konsisten memulai sebuah transformasi dengan memastikan bahwa hanya orang-orang yang tepat yang berada dalam bus, dan sebaliknya, memastikan mereka yang tidak tepat dikeluarkan atau keluar dari bus. Dan kriteria yang ia gunakan dalam menentukan ”right persons” lebih menitikberatkan pada kualitas manusianya, yaitu modal spiritualnya, ketimbang pengetahuan dan keterampilan khusus yang relatif mudah dipelajari. Dampaknya, the right persons mampu terus menggulirkan transformasi, walaupun sang pemimpin sudah tak lagi bersama mereka. Sebaliknya, a genius with a thousand helpers cenderung memilih orang-orang berbakat yang diyakini dapat membantu dirinya mencapai visinya. Biasanya para helpers ini – betapapun berbakatnya mereka – menjadi lumpuh atau kocar-kacir pada saat sang genius pergi.

Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

How You Think, is How You Act, is Who You Are (2)



“Teruslah bergerak, hingga kelelahan itu lelah mengikutimu. Teruslah berlari, hingga kebosanan itu bosan mengejarmu. Teruslah berjalan, hingga keletihan itu letih bersamamu. Teruslah bertahan, hingga kefuturan itu futur menyertaimu. Tetaplah berjaga, hingga kelesuan itu lesu menyertaimu” –Alm. Rahmat Abdullah–

Setiap orang yang belajar finance kenal sepuluh aksioma dasar. Salah satunya tentang risk and return trade-off, yang mengatakan: Low risk, low return. High risk, high return. Kalau boleh disambung, no risk, ya no return. Visi, mimpi, creating the future, out-of-the box thinking, keluar dari comfort zone, berpikir “bandel”, memang punya risiko, punya ketidakpastian yang sangat besar. Tapi kembali, di situlah bedanya leader dengan orang kebanyakan: leader adalah risk-taker, sementara common people cenderung risk-avoider.

Ibarat atlet, leader adalah pelari maraton, bukan sprinter. Orientasi, sekaligus kriteria suksesnya diletakkan dalam time frame yang panjang (longer term), jauh di depan. Pemimpin sejati bukanlah manusia instan yang tergiur oleh ”sukses” remeh-temeh berjangka pendek, yang bisa jadi justru merupakan virus atau rayap yang pelan-pelan menggerogoti fondasi bangunan masa depan. Hari esok. Bahkan hari esok yang sangat jauh di depan dan abadi: akhirat. Di sanalah pemimpin sejati menitipkan harapannya. ”Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kami kerjakan” (QS. Al Hasyr: 18).

Visi akhirat membuat pemimpin menjadi cerdas menata kekiniannya, langkah-langkahnya, utilisasi sumber dayanya. Visi akhirat pula yang membuat pemimpin sejati teguh-kukuh dan tak kenal kalah, apalagi patah. Luka-luka akibat terantuk cadas, bahkan yang paling parah sekalipun, dilihat sebagai lecet-lecet kecil yang akan terobati oleh waktu, dan sama sekali tak membuat surut. Visi akhirat juga membuat pemimpin tak punya kata ”puas” dalam kamus hidupnya. Ia terus beramal. Terus berbuat. Tak pernah berpikir untuk berhenti dan berleha-leha menikmati ”gula-gula” jangka pendek, karena ia tahu betul bukan itu yang ia mau.

Itulah the power of vision! Visi hebat yang menjangkau jauh ke depan membuat masalah, kendala, dan kesulitan hanya kerikil-kerikil kecil yang tak berarti. The true leader berpikir, kalaulah dalam perjalanan menggapai mimpi itu saya menderita sakit, Allah akan menyembuhkan saya. Kalaulah saya jatuh, dengan pertolongan Allah saya akan bangun lagi. Jika saya kalah, itu tak akan selamanya. ”Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itupun (pada perang Badar) mendapat luka yang serupa. Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran), dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan supaya sebagian kamu dijadikanNya gugur sebagai syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim, dan agar Allah membersihkan orang-orang yang beriman (dari dosa mereka) dan membinasakan orang-orang yang kafir” (QS. Ali ”Imran: 140-141). So, no big deal!

Pemimpin sejati memang istiqamah dan disiplin. Ia konsisten, konsekuen, dan presisten terhadap visinya. Tak mau kompromi. Enggan ditawar. Namun, ia inovatif dan berani mengambil risiko dalam cara. Ada fleksibilitas yang luar biasa dalam mencari solusi. Ada conviction bahwa untuk menjadi leader yang sukses bukan berarti tak boleh gagal, melainkan harus melihat hasil yang tak sesuai dengan harapan sebagai bagian dari proses pembelajaran, sebagai feedback, sebagai sinyal keharusan untuk berganti cara. Ketika pemimpin sejati terantuk sebuah tembok penghalang, bukan cita-citanya yang ia kesampingkan, melainkan strateginya yang ia ubah.

Anda suka bergunjing? Kalau ya, artinya anda belum cukup qualified untuk menjadi pemimpin. Lho kok? Terlepas dari masalah bahwa bergunjing itu dosa, pergunjingan biasanya berisi masalah. Semua peserta majelis pergunjingan dengan penuh semangat menyoroti masalah, bahkan membesar-besarkan masalah, dengan menambahkan aneka bumbu penyedap rasa. ”Abis ..., soalnya ..., masalahnya ...,” demikian kira-kira redaksi kalimat para penggunjing itu. Tak ada yang bicara solusi. Bahkan tak ada yang berharap ada solusi. Mohon dicatat: leader berpikir tentang solusi, bukan tentang masalah. ”Bekerjalah kamu, maka Allah dan RasulNya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada Allah Yang Mengetahui akan yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakanNya kepada kamu apa telah kamu kerjakan” (QS. At Taubah: 105). Jadi, cuma ada tiga kata kunci. Pertama, action! Kedua, juga action! Dan ketiga, jangan berhenti action!

Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

How You Think, is How You Act, is Who You Are (1)



“Pemimpin yang baik dan mengerti arah perubahan, akan memimpin dengan contoh. Ia berada di depan, berkorban demi kebaikan. Ia mengajak yang lain berkorban, tanpa harus merasa susah.” –Rhenald Kasali–

Suatu pagi tiba-tiba masuk sebuah SMS dari seorang sahabat. Ia mengajukan pertanyaan, ”Mengapa para motivator, trainer, dan konsultan, tidak menjadi pemimpin besar dunia yang membuat perubahan besar untuk kesejahteraan umat manusia, mengukir sejarah? Mereka asyik saja memotivasi orang dan bicara banyak tentang leadership, tanpa menjadi pelaku utama”. Dug! Karena profesi saya trainer dan konsultan, dan dalam banyak kesempatan diminta menjadi motivator, pertanyaan tersebut lumayan menohok saya, namun di sisi lain juga memaksa saya berpikir untuk menemukan jawabannya.

Motivator, trainer, dan konsultan, sebagaimana juga dokter, pengacara, presiden, gubernur, ketua parpol, dan anggota legislatif, adalah profesi. Sementara pemimpin, leader, bukanlah profesi, melainkan peran dan sekaligus kualitas personal seseorang. Implikasinya, seorang presiden, gubernur, maupun ketua parpol belum tentu pemimpin. Sebaliknya, seorang konsultan, dokter, atau pengacara belum tentu bukan pemimpin. Walaupun memang ada profesi tertentu yang sebenarnya menuntut kapasitas kepemimpinan – kemampuan menjalankan peran sebagai pemimpin dan kualitas personal sebagai pemimpin – yang relatif lebih tinggi dibandingkan profesi lainnya.

Mari kita lihat leader sebagai peran. Sebuah peran ditunjukkan oleh sekumpulan perilaku yang memiliki pola tertentu. Jangan dilupakan formula dasar bahwa perilaku adalah fungsi – refleksi, akibat – dari pola pikir. Ingat kembali hubungan: how you think is how you act, is who you are. Dalam konteks ini seseorang disebut leader karena ia berperilaku leader, yang merupakan dampak dari pola pikir leader pula.

Bagaimana seorang leader berpikir? Leader berpikir bagaimana menghadapi, dan bahkan memenangkan perubahan. Bagaimana organisasinya atau masyarakatnya dapat meniti gelombang turbulensi, dan bukan sekedar selamat, namun juga mampu melompat ke jenjang yang lebih tinggi. Leader menyadari bahwa agar tak tergulung oleh perubahan ia harus punya visi yang jelas, yang kemudian di-buy in oleh para pengikutnya, sehingga kemudian menjadi shared-vision, visi bersama. Visi yang jelas itu membuat leader tahu pasti apa yang harus dilakukan, dan mengapa hal tersebut harus dilakukan, walaupun sangat mungkin ia membutuhkan bantuan orang lain untuk mengelola kompleksitas yang timbul sebagai dampak gelombang turbulensi dengan menyusun rencana bagaimana mobilisasi sumberdaya harus dilakukan dan anggaran keuangan yang menjadi konsekuensinya.

Di sinilah titik beda yang membuat pemimpin menjadi begitu unik. Leader berorientasi ke masa depan (one day) di suatu tempat yang sama sekali berbeda (be somewhere), bukan sekedar re-inventing the wheel, berkubang dengan problematika klasik yang dari itu ke itu juga. Ia sangat berani bermimpi menembus batas realitas, karena ia menghayati bahwa menciptakan masa depan – learning from the future – adalah tugasnya. Bagi pemimpin sejati, sejarah dan kekinian adalah guru dan pemberi peringatan agar tak mengulangi kebodohan yang pernah terlanjur dibuat, terperosok ke dalam lubang yang sama, namun sama sekali bukan koridor pembatas, apalagi belenggu pemasung kemerdekaan berpikir dan bermimpi.

Bermimpi adalah kompetensi yang mutlak dimiliki seorang leader. Bukan sekedar bermimpi, namun melakukan visualisasi dalam pikiran sedemikian rupa sehingga mencapai titik disosiasi. Disosiasi adalah sebuah kondisi di mana kita seolah-olah melihat rekaman video tentang mimpi kita – lengkap dengan gambar, suara, dan sensasi rasa (visual, auditory, kinesthetic) – di mana kita melihat diri kita sendiri dalam film itu sebagai aktor utamanya. Disosiasilah yang membuat otak dan pikiran kita “tertipu”, merekam imajinasi itu, mimpi kita, sebagai realita, sehingga menjadi referensi yang sangat kuat, dan pada gilirannya mampu menciptakan sense of certainty, rasa pasti, yang membangun keyakinan kita, belief, terhadap visi itu. Dan jangan lupa, sense of certainty, belief, merupakan perintah mutlak, unquestioned command, terhadap sistem saraf dan proses-proses biokimia dalam tubuh kita, yang pada gilirannya akan membangunkan seluruh potensi tak terbatas yang sebelumnya lelap tertidur.

Ada cerita kecil tentang ini. Konon, dalam rangka memperingati Hari Kemerdekaan, sepuluh ekor anak kodok menggagas lomba memanjat menara. Karena penasaran khalayak ramai berkerumun menyaksikan lomba yang tak lazim itu. Mereka bertepuk dan bersorak-sorai, namun sejatinya bukan memotivasi, bahkan kebalikannya, mengejek dan menafikkan kemungkinan kesepuluh anak kodok itu akan berhasil. Benar juga apa kata penonton, satu demi satu anak-anak kodok itu tergelincir jatuh. Teriakan penonton semakin brutal, dan kian banyak pula peserta lomba yang terpeleset dan gagal. Namun tunggu dulu. Ada satu anak kodok yang bergeming. Sama sekali tak terpengaruh! Ia terus merayap menunju puncak menara. Perlahan tapi pasti. Dan akhirnya ... dia berhasil! Maka penontonpun heran. Mereka mencoba mencari tahu mengapa anak kodok yang satu ini sukses mencapai puncak. Masya Allah, ternyata dia ... tuli!

Kesimpulannya, kalau mau berhasil jadilah pemimpin yang ”tuli”. Tuli terhadap seruan negatif para provokator! Sekali anda punya niat baik, punya mimpi besar untuk mengubah diri dan dunia di sekitar anda, fokuskan pandangan ke depan, mantapkan hati, busungkan dada, bermunajat mohon pertolongan dan penjagaan Allah SWT, lalu ... melangkahlah! ”...Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepadaNya” (QS. Ali ’Imran: 159).

Godaan paling klasik dari para provokator itu adalah cercaan bahwa impian kita tidak realistik. Impian memang mestilah tak realistik saat ini, di sini, bagi orang-orang yang tak mempercayainya. Bahkan, sebenarnya dalam hidup kita tak pernah sunguh-sungguh mengalami apa yang disebut ”realita”, karena yang kita alami adalah persepsi kita tentang realita. Jika tidak hati-hati, yang kita sebut realita akan lebih banyak menjadi jeruji besi pemasung cita-cita. Dan lebih lanjut, pada titik inilah seorang pemimpin sejati menjadi begitu berbeda: keyakinannya terhadap sebuah impian yang hebat, sense of certainty-nya, membuatnya mampu mencapai apa yang dianggap tidak realistik oleh orang lain. Dalam sebuah pertempuran, seorang sahabat Nabi SAW dengan semangat menggebu memacu kuda tunggangannya teramat cepat, sampai-sampai sahabat yang lain bertanya apa yang mendorongnya berbuat demikian. Sahabat itu menjawab, ”Wahai sahabatku, aku mencium bau surga di hadapanku.” Subhanallah! Surga sudah menjadi realita dalam indera gustatory (penciuman) sahabat tersebut, menjadi unquestioned command, ledakan energi luar biasa yang memacu dirinya menggempur musuh untuk mencapai tujuannya: surga!

Dan dalam konteks bangsa kita, ketika ”realita” menunjukkan bahwa prestasi olahragawan kita terus meluncur di bawah titik nol, bahkan di ajang semungil SEA Games, sementara prestasi korupsi kita kian menjulang, human development index kita semakin babak belur, dan beragam bencana kian seru menggempur, pemimpin yang punya kompetensi to learn from the future, atau meminjam istilah Rhenald Kasali, mampu me-re-code dirinya, merupakan necessary condition, prasyarat yang pantang ditawar untuk bangkit. Dia adalah seorang pemimpin dengan visi besar, ”terbentuknya Indonesia baru yang adil, sejahtera, dan bermartabat, serta karunia dari Allah Pencipta alam semesta”.

Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

Selasa, 17 Agustus 2010

pulang tapi malang



bismillah.. assalamu'alaykum..

alhamdulillah, bisa menulis kembali setelah beberapa saat dihentikan oleh sebuah kejadian tragis..tapi penuh ibroh yang bisa diambil..insyaalah..

3 minggu setelah tak pulang kampung..akhirnya saya bisa pulang kerumah orangtua saya setelah sekian lama dari perantauan..tapi dengan kondisi yang subhanallah luar biasa..hehe..
mungkin karena saya tidak menjaga kondisi..akhirnya Allah memberikan saya kesempatan untuk merebahkan tubuh di rumah sakit selam satu minggu kedepan..subhanallah..betapa indah rencanaNYA untuk hamba-hambaNYA..

jadilah saya didiagnosa terkena Demam Berdarah dan berbagai macam penyakit lainnya dalam satu waktu..wih..pertama kali komplikasi sebanyak ini dan separah ini dan bahkan untuk sekedar melek saja sakit semua..wew..hehehe (lebay) ^^

bosan rasanya ketika kita terbiasa dalam suatu rutinitas yang biasa kita jalani kemudian kita keluar dengan terpaksa dari rutinitas itu..uh..hanya terbaring memandang infus di tangan kiri antara jari manis dan jari tengah mengantar cairan ke dalam tubuh yang tak berdaya..

hari pertama, insyaalah hari senin..rasa ketidakberdayaan itu semakin nyata, berat rasany untuk sekedar membuka mata, beberapa obat harus kutelan bulat-bulat dan kotak-kotak (ada obat yg bentuknya kotak.. --a), tidak ad semngat tuk menyantap makanan yang telah disediakan. rasanya seperti menyiapkan kehancuran diri sendiri..
tapi sembari terbaring dan berkhayal, ada ibroh yang kudapatkan di hari pertama kutakberdaya di rumah sakit..sekuat-kuatnya manusia, setangguh apapun makhluk, jika Allah sudah berkehendak untuk melemahkan maka tidak akan ada yang bisa melwan kehendaknya..dan itu yang saya rasakan..subhanallah..DIA memang maha segalanya..tapi ada satu hal yang sangat mengganjal pikiran..

AMANAHKU..
AMANAHKU..
AMANAHKU..

rasanya tidak tenang tidurku..kutaruh handphoneku di sebelah bantal, menanti rekan seperjuangan memberi kabar tetntang apayang terjadi di smalabaya tercinta..
satu jam, dua jam, tiga jam setelah ku terjaga tuk pertama kali..belum ada kabar juga dari mereka..rasanya resah, menanti kabar..seperti seorang bapak yang menanti kabar anaknya..

mungkin karena kekhawatiranku yang mungkin tak terbendung..karena memang di dua akhir pekan ini ada tiga acara besar yang berlangsung..dan dua acara itu adalah tanggung jawabku..
aku memutuskan untuk menghubungi mereka meski tak berdaya..
ah, tak disangka..sebelum kuhubungi mereka yang luar biasa itu..handphoneku berdering beberapa kali..yah beberapa dari mereka menghubungiku..akhirnya..sedikit tenang..hehe..terima kasih teman.. ^^

berjalan beberapa hari, seminggu ku berada di rumah sakit..tak betah rasanya..pulang akhirnya, setelah kesehatan saya ada kemajuan..tapi tetap saja harus nambah istirahat dirumah selama satu minggu..satu hal yang membuatku tidak tenang adalah.. AMANAHKU..AMANAHKU..AMANAHKU..merasa melalaikan banyak hal..tapi satu hal yang sangat kusyukuri adalah memiliki rekan seperjuangan yang sangat luar biasa..dimana kita saling melengkapi..dan itu luar biasa..membuatku tenang ketika ku menyadari ku harus memulihkan diri terlebih dahulu..memenuhi fitroh tubuh..setelah sekian lama ku begitu dzalim terhadap tubuh ini..astaghfirullah..

ibroh terbesar yang bisa saya dapatkan adalah jangan takabur terhadap kemampuan diri sendiri, setiap manusia memiliki batas-batas tersendiri agar selalu bersyukur terhadap segala kemampuan dan segala keterbatasan yang dimiliki..

dan satu hal lagi yang paling penting adalah kuasa Allah diatas segalanya.. ^^

alhamdulillah..semoga bermanfaat..

Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO